Kabut yang likang
dan kabut yang
pupuh
Lekat dan
gerimis pada tiang-tiang jembatan
Matahari
menggeliat dan kembali gugur
tak lagi di
langit berpusing
di
perih lautan
Puisi berjudul “Kartu
Pos Bergambar Golden Gate” tersebut
pertama kali dikenalkan oleh guru Bahasa Indonesia saya, Bu Muflihah, pada
salah satu ulasan tentang musikalisasi puisi. Saya dan teman-teman sekelas
ditugaskan untuk memusikalisasi puisi tersebut pada kelas selanjutnya. Keindahan
bait-bait dalam puisi Sapardi Djoko Damono ini membuat saya penasaran tentang
jembatan bernama Golden Gate tersebut. Seperti apakah jembatan itu? Seindah yang
digambarkan Sapardi kah?
Lima
tahun kemudian, 12 Januari 2010, dengan segala kemudahan dari Allah, saya
menginjakkan kaki ke kota San Fransisco yang terkenal dengan Golden Gate-nya itu. Setelah hampir
setengah tahun berjuang melalui tes demi tes di AMINEF, saya terpilih menjadi
salah satu dari sepuluh mahasiswa Indonesia yang nenerima beasiswa Global Undergraduate (Global UGrad) Exchange Program
2009/2010. Semua tidak terlepas dari dukungan dosen-dosen Prodi Bahasa
Inggris, terutama Pak Diem, Pak Sofendi, Bu Ida, dan Bu Sary, yang telah banyak
membantu saya dengan surat rekomendasinya. Mama, papa, saudari kembar,
dan ayuk-ayuk saya juga telah
memberikan yang terbaik yang bisa mereka berikan untuk mendukung saya hingga
mencapai titik ini. Masih lekat dalam ingatan saya betapa seringnya papa dan
mama menembus dinginnya subuh, mengemudikan mobil dari Sirah Pulau Padang
menuju Palembang demi mengantar saya mengejar first flight menuju Jakarta. Rini, saudari kembar saya yang saat
itu sedang kuliah di Los Angeles dengan beasiswa yang sama, terus menyemangati
saya melalui telpon atau sms. Rini semacam inspirasi yang luar biasa bagi saya
karena dia menjadi orang pertama dalam keluarga kami yang mengecap pendidikan
di luar negeri setelah bertahun-tahun kami berdua berjuang untuk mendapatkan
kesempatan itu.
Seleksi
Global UGrad pertama kali diadakan di akhir tahun 2007, saat itu saya dan Rini
juga mengikuti seleksi Saga University
Program for Academic Exchange (SPACE), sebuah program satu tahun pertukaran
akademik di Universitas Saga, Jepang.
Karena kerjasama U to U, semua proses
seleksi adalah di tingkat rektorat Unsri. Kami yang saat itu baru semester dua
memberanikan diri untuk mendaftar. Di tengah proses seleksi tersebut, Rini mendapat
informasi tentang Global UGrad dan mengajak saya untuk mencobanya. Karena
beberapa pertimbangan, saya memilih berfokus pada SPACE dan UAS. Rini mendaftar
dan setelah melalui serangkaian tes, terpilih sebagai penerima Global UGrad
angkatan pertama. Dia bertolak menuju Los Angeles pada 27 Mei 2008.
Dibiayai
oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), penerima beasiswa Global
UGrad mengikuti perkuliahan di universitas-universitas AS selama satu semester atau
satu tahun akademik. Selain, itu program ini juga memberikan kesempatan
untuk magang dan terlibat dalam kegiatan
sosial (community service). Proses
seleksinya ada empat tahapan, yaitu seleksi dokumen, wawancara dan TOEFL ITP, iBT,
dan tes kesehatan. Setiap tahapan juga diberlakukan sistem gugur. Peserta yang
tidak lolos dari satu tahapan tidak bisa lanjut ke tahapan lainnya. Pastikan
dokumen aplikasi yang dikirim lengkap. Dari beratus aplikasi yang masuk, yang
lolos ke wawancara dan TOEFL ITP biasanya kurang dari 20 orang. Begitu pun
dengan tes-tes selanjutnya, jumlah pesertanya semakin berkurang. Semua itu
proses yang panjang dan menguras energi. Setelah iBT, saya bahkan harus
menghabiskan seminggu sisa libur semester di RS Charitas karena kondisi
kesehatan saya drop. Tanpa segala kemudahan dari Allah, optimisme, dan dukungan
orang-orang terdekat saya tidak akan mampu melalui semua itu.
Mimpi telah membawa saya melintasi benua. Saya
selalu percaya bahwa sebuah pencapaian adalah jenjang menuju
pencapaian-pencapaian lainnya dalam hidup ini. Saya bertolak dari Indonesia
dengan membawa tiga hal bersama saya; mimpi, cinta, dan kepercayaan. Saya
datang dengan membawa mimpi saya untuk melawan segala keterbatasan yang ada,
menimbah ilmu setinggi-tingginya, dan menjadi agent of change atas terwujudnya Indonesia yang lebih baik. Mungkin
terdengar heroik, tapi begitulah adanya. Cinta, hal kedua yang saya bawa,
membuat hati saya terasa hangat. Begitu besarnya cinta yang diberikan oleh
setiap orang dalam keluarga besar menguatkan saya. Meskipun terpisah ribuan mil,
saya tahu bahwa saya tidak sendiri. Mendapatkan kepercayaan, hal ke tiga yang
saya bawa bersama saya, bukanlah perkara mudah bagi kebanyakan anak perempuan
seumuran saya. Saya pergi melangkahkan kaki membawa kepercayaan dari setiap
orang dalam keluarga besar saya. Papa, mama, Rini, dan ayuk-ayuk percaya bahwa belajar di Amerika Serikat adalah hal yang
sangat baik bagi masa depan saya. Mereka semua percaya bahwa saya akan
melakukan yang terbaik, belajar dengan baik, memperluas wawasan, dan
meningkatkan kemampuan akademis.
Di Humboldt
State University (HSU), saya mengambil empat mata kuliah; Literature, Identity, and Representation, Multicultural Perspective of
American Society, Fundamental Communication, dan Social Work. Ke empatnya
saya ambil sebagai gambaran untuk bidang yang akan saya pilih untuk S2 saya
nanti. Kelas-kelas tersebut mengasah kemampuan critical thinking dengan banyaknya tugas baca dan menulis. Di sisi
lain, saya juga harus fokus pada skripsi saya. Karena takut semuanya tidak
tertangani dengan baik, saya me-manage
waktu saya dengan sangat ketat. Di akhir pekan pun saya tetap sibuk dengan community service. Bersama rekan dari Youth Educational Services (YES), saya
memfasilitasi kegiatan permainan edukatif untuk anak-anak tunawisma di salah
satu rumah singgah yang tidak jauh dari kampus.
Saya
benar-benar menikmati pengalaman belajar di negeri Paman Sam. Secara pribadi,
pengalaman tersebut menempa saya menjadi orang yang lebih mudah beradaptasi, mandiri,
dan open-minded. Berada dalam
atmosfir akademik yang sangat diverse
membuat saya terekspos dengan beragam perspektif yang semakin memperluas
wawasan. Diskusi dengan rekan-rekan dari negara-negara ASEAN membuat saya lebih
aware tentang isu-isu sosial di
tingkat regional. Hal ini mendorong saya untuk terlibat aktif dalam forum-forum
kepemudaan di tingkat ASEAN atau pun Global
South. Interaksi dengan native
speaker, baik di dalam atau di luar kelas, meningkatkan kemampuan bahasa Inggris saya. Begitu pula dengan
akses terhadap jurnal-jurnal terbaru yang sangat berguna bagi referensi untuk
skripsi saya.
Saya sudah memahami betapa
besarnya dunia. Dan, sejauh ini baru sedikit yang saya lihat. Selama menjadi
mahasiswa, menjaga keseimbangan antara kegiatan akademik dan organisasi, atau
pun kehidupan pribadi dan interaksi sosial memang tidak mudah. Tapi semuanya
diperlukan untuk hidup setelah kuliah (life
after college). Ada banyak hal yang tidak bisa ditemukan di buku teks dan
hanya bisa dipelajari dari organisasi dan interaksi sosial. Lulus dengan predikat
cum laude bukanlah
segalanya. Tapi
lulus dengan IPK nasakom juga akan menjadi hambatan dalam banyak hal.
Harus membuka mata dan perluas wawasan dengan antusiasme untuk terus
belajar
dari apa pun, siapa pun, dan di mana pun. “Karena kita hidup dalam
sebuah
sistem yang memiliki banyak subsistem yang begitu kompleks,” begitu kata
salah
satu profesor saya.
Saya tahu bahwa perjalanan saya untuk menjadi pemuda yang benar-benar dapat berkontribusi secara signifikan bagi pembangunan negeri tercinta masih panjang. Tapi saya percaya bahwa setiap langkah kecil yang saya ambil sangat berarti. Seperti kata Lao Tsu, “The journey of a thousand miles begins with a single step.”
Saya tahu bahwa perjalanan saya untuk menjadi pemuda yang benar-benar dapat berkontribusi secara signifikan bagi pembangunan negeri tercinta masih panjang. Tapi saya percaya bahwa setiap langkah kecil yang saya ambil sangat berarti. Seperti kata Lao Tsu, “The journey of a thousand miles begins with a single step.”
0 comments:
Post a Comment