Terinspirasi
oleh tulisan CEO change.org, yang ternyata alumni salah satu program kampus
saya, tentang ibunya, saya jadi
terinsipirasi untuk menuliskan sepuluh hal yang saya pelajari dari ibu saya
juga. Lho, memangnya siapa saya? Saya Dian Mayasari, yang belum jadi CEO
(haha..). Kenapa tulisnya sekarang? Tunggu setelah jadi CEO juga dong…. Well, mungkin
setelah jadi CEO nanti saya tidak akan punya waktu untuk menuliskan seperti
ini. Masih belum cukup? Oke, kemarin (11/5) adalah Hari Ibu di Amrik sini. Dan
hari ini (12/5) adalah ultah ibu yang sangat saya cintai itu.
Terus,
siapa ibu saya? Ibu saya bukan business
woman. Beliau juga bukan board member
sebuah NGO yang beroperasi di banyak negara. Tapi jika saya bisa dilahirkan
lagi, saya akan memohon kepada Allah untuk tetap menjadikan saya sebagai putri
beliau. Saya bangga sekali punya ibu yang mengabdikan 40 tahun hidupnya bagi
pendidikan Indonesia. Bukan hanya itu,
sepanjang hidupnya beliau selalu menjadi inspirasi dalam hidup saya. Berikut
hal-hal penting yang beliau ajarkan:
1.
Allah
sebaik-baik penolong
Mama saya selalu mengingatkan saya untuk
menjaga sholat. Seperti banyak perempuan berkeluarga lainnya, mama saya juga
memiliki banyak drama dalam hidup beliau, lengkap dari A hingga Z. Tapi semua
kesulitan itu semakin mendekatkan beliau kepada Allah. Dan Allah pun
memungkinkan beliau melalui semua cobaan dalam hidupnya dengan baik, menuntun
beliau untuk mengambil pilihan-pilihan bijak dalam setiap situasi sulit. Dari
mama saya belajar bahwa iman itu sama seperti payung. Payung tidak menghentikan
hujan. Begitu juga iman, ia tidak menghentikan cobaan. Payung memungkinkan kita
melalui hujan tanpa basah kuyup. Seperti itu juga iman, memungkinan kita melalui ujian dengan baik dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
2.
Jangan
ambil sesuatu yang bukan hakmu
Mama mengajarkan saya hal penting
tentang tidak mengambil apa yang bukan
hak saya. “Sebelum mengambil hak orang lain, tempatkan diri kita berada di
posisi orang tersebut dan mengalami penderitaannya karena apa yang kita
lakukan.” Mungkin begitu pesan moral yang selalu ingin beliau sampaikan. Ketika
kecil dulu, sebagai anak bungsu, saya selalu dapat “dinas” ke warung untuk beli
ini itu. Kebiasaan buruk saya adalah tidak menghitung kembalian dan langsung
segera pulang untuk menyerahkannya ke mama. Setiap kali uang kembalian yang
saya terima kelebihan, saya selalu disuruh segera mengembalikan uang tersebut
ke pemilik warung. Mama bilang, untung yang mereka dapatkan itu gak banyak,
paling cuma seratus atau dua ratus rupiah per item. Kasian sekali kalau untung
sekecil pun itu tidak bisa mereka nikmati karena salah memberikan kembalian.
Sebagai kepala sekolah, mama saya
mengkoordinir pembayaran gaji semua stafnya. Setiap bulan beliau mengambil semua
uang tersebut ke bank, lalu memberikannya ke masing-masing staf beliau
(maklum..mama saya bekerja di desa yang belum ada ATM). Beberapa kali mama saya
menerima kelebihan pembayaran, sekitar satu atau dua juta, dari yang mesti
beliau terima. Cukup aneh, karena biasanya sebelum meninggalkan bank kan biasa
semua uang telah dihitung dengan baik oleh si teller. Tapi tetap saja bisa ada kejadian
begitu. Setelah memastikan uangnya benar-benar kelebihan, mama saya biasanya
langsung balik ke bank dan mengembalikan uang itu.
Si teller bank sudah cemas sekali karena
mungkin sulit sekali mengidentifikasi customer mana yang terlebih
pembayarannya. Kalaupun bisa teridentifikasi, pastinya jarang ada juga yang mau
mengakui kalau uangnya memang terlebih. Dia mungkin mengira gajinya pasti akan
dipotong karena kesalahan semacam itu. Wow, apakah mama saya angel? Mama saya
bilang itu biasa saja. Tidak ada yang wah. Uang itu kan memang bukan haknya
mama, makanya harus dikembalikan. Lagian kasian juga mbak teller-nya kalau udah
capek-capek kerja sebulan penuh malah kena potong gaji karena kesalahan semacam
itu. Coba tempatkan diri kita di posisi mbak teller itu, kata mama.
Dan ternyata benar teori mama itu.
Pernah satu kali, setelah semua kasus bank itu, mama terlebih membayarkan gaji
stafnya dan uang itu tidak pernah dikembalikan. Dengan uang itu semestinya mama
bisa membeli sesuatu yang sudah direncanakannya dari sebulan sebelumnya. Beliau
jadi harus menunda rencananya tersebut. Saya pun ikut merasakan kesedihan mama.
Kita tidak akan pernah tau apa yang dirasakan oleh orang lain jika kita tidak
pernah merasakan apa yang mereka alami. Berempati memang susah, tapi harus
dibiasakan. Gimana yah kalau setiap mama mengajarkan anaknya nilai semacam ini?
Pasti kita bisa menekan jumlah kasus korupsi, perselingkuhan atau sejenisnya
yah.
Saya bangga sekali punya mama yang
memberikan contoh melalui keteladanan. Gak omdo, beliau benar-benar
melakukan sesuatu yang berusaha ia ajarkan untuk anak-anaknya.
3.
Tunaikan
hak orang lain sesegera mungkin
Mama saya selalu bilang,”Tunaikanlah hak
orang lain sebelum kering keringatnya.” Beliau tidak pernah menunda-nunda semua
pembayaran yang mesti beliau bayarkan. Mama juga selalu mengingatkan papa untuk
segera membayar upah para pekerjanya sesegera mungkin.
4.
Bekerjalah
dengan kemampuan terbaik dan penuh ketulusan
Saya belajar banyak tentang keikhlasan
dalam bekerja dari mama. Mama memang tidak memiliki annual income setinggi dokter, CEO atau orang-orang dengan profesi
lainnya. Tapi beliau selalu passionate
tentang apa yang dilakukannya. Beliau mencintai pekerjaannya dan selalu
berusaha yang terbaik untuk anak didiknya. Dari beliau saya belajar bahwa
bekerja adalah bagian dari ibadah, jadi harus dilakukan dengan kemampuan
terbaik. Mama juga mengajarkan saya untuk tidak terlalu merisaukan penilaian
manusia. Ada saat di mana orang tidak mampu memahami ketulusan kita, tapi
tenang saja… Toh Allah Maha Melihat. Di mata Allah, hal sekecil apapun yang
kita lakukan bernilai. Pemahaman macam ini membuat saya melalui banyak drama di
tempat kerja tetap dengan hati yang riang dan penuh antusiasme.
5.
Hormati
setiap orang
Mama selalu menghormati siapapun
terlepas dari apapun latar belakang mereka. Contoh paling real-nya adalah perlakuan beliau terhadap bibi-bibi yang bantu-bantu di
rumah. Beliau memperlakukan bibi-bibi itu seperti keluarga sendiri. Beliau
tidak pernah bossy. Semua pekerjaan
yang bisa beliau kerjakan sendiri dikerjakannya sendiri. Beliau juga selalu
mencontohkan kalimat yang santun semacam, “Bi, tolong bantuin bersiin kitchen
counter yah.” Saya gak pernah dengar mama bilang, “Bi, itu tuh kitchen counter-nya
kotor banget. Bersiin dong. Gak pake lama yah.”
Dalam sebuah bedtime talk, beliau pernah bilang,” Tadi sore bibi cerita dia
merasa kayak bagian dari keluarga kita. Dia bilang kalian juga selalu sopan
sama dia.” Dengan senyum penuh bangga beliau melanjutkan,“Keep up the good work, anak-anak! Memang semestinya begitu.”
Brattleboro,
12 Mei 2014
P.S. Silakan baca Part 2 di sini
2 comments:
Mommy was a very thoughtful and admirable persona. She was one of the best thing I've ever had in my life. Proud to be her daughter.
Sure, she is the kindest and most adorable woman I've ever met in mylife :) We're so lucky to be born as her daughter.
Post a Comment