CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Thursday, May 29, 2014

10 Things I Learned from My Mom: Part I




Terinspirasi oleh tulisan CEO change.org, yang ternyata alumni salah satu program kampus saya,  tentang ibunya, saya jadi terinsipirasi untuk menuliskan sepuluh hal yang saya pelajari dari ibu saya juga. Lho, memangnya siapa saya? Saya Dian Mayasari, yang belum jadi CEO (haha..). Kenapa tulisnya sekarang? Tunggu setelah jadi CEO juga dong…. Well, mungkin setelah jadi CEO nanti saya tidak akan punya waktu untuk menuliskan seperti ini. Masih belum cukup? Oke, kemarin (11/5) adalah Hari Ibu di Amrik sini. Dan hari ini (12/5) adalah ultah ibu yang sangat saya cintai itu.

Terus, siapa ibu saya? Ibu saya bukan business woman. Beliau juga bukan board member sebuah NGO yang beroperasi di banyak negara. Tapi jika saya bisa dilahirkan lagi, saya akan memohon kepada Allah untuk tetap menjadikan saya sebagai putri beliau. Saya bangga sekali punya ibu yang mengabdikan 40 tahun hidupnya bagi pendidikan Indonesia.  Bukan hanya itu, sepanjang hidupnya beliau selalu menjadi inspirasi dalam hidup saya. Berikut hal-hal penting yang beliau ajarkan:

1.      Allah sebaik-baik penolong

Mama saya selalu mengingatkan saya untuk menjaga sholat. Seperti banyak perempuan berkeluarga lainnya, mama saya juga memiliki banyak drama dalam hidup beliau, lengkap dari A hingga Z. Tapi semua kesulitan itu semakin mendekatkan beliau kepada Allah. Dan Allah pun memungkinkan beliau melalui semua cobaan dalam hidupnya dengan baik, menuntun beliau untuk mengambil pilihan-pilihan bijak dalam setiap situasi sulit. Dari mama saya belajar bahwa iman itu sama seperti payung. Payung tidak menghentikan hujan. Begitu juga iman, ia tidak menghentikan cobaan. Payung memungkinkan kita melalui hujan tanpa basah kuyup. Seperti itu juga iman, memungkinan kita melalui ujian dengan baik dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

2.      Jangan ambil sesuatu yang bukan hakmu

Mama mengajarkan saya hal penting tentang tidak mengambil apa  yang bukan hak saya. “Sebelum mengambil hak orang lain, tempatkan diri kita berada di posisi orang tersebut dan mengalami penderitaannya karena apa yang kita lakukan.” Mungkin begitu pesan moral yang selalu ingin beliau sampaikan. Ketika kecil dulu, sebagai anak bungsu, saya selalu dapat “dinas” ke warung untuk beli ini itu. Kebiasaan buruk saya adalah tidak menghitung kembalian dan langsung segera pulang untuk menyerahkannya ke mama. Setiap kali uang kembalian yang saya terima kelebihan, saya selalu disuruh segera mengembalikan uang tersebut ke pemilik warung. Mama bilang, untung yang mereka dapatkan itu gak banyak, paling cuma seratus atau dua ratus rupiah per item. Kasian sekali kalau untung sekecil pun itu tidak bisa mereka nikmati karena salah memberikan kembalian.

Sebagai kepala sekolah, mama saya mengkoordinir pembayaran gaji semua stafnya. Setiap bulan beliau mengambil semua uang tersebut ke bank, lalu memberikannya ke masing-masing staf beliau (maklum..mama saya bekerja di desa yang belum ada ATM). Beberapa kali mama saya menerima kelebihan pembayaran, sekitar satu atau dua juta, dari yang mesti beliau terima. Cukup aneh, karena biasanya sebelum meninggalkan bank kan biasa semua uang telah dihitung dengan baik oleh si teller. Tapi tetap saja bisa ada kejadian begitu. Setelah memastikan uangnya benar-benar kelebihan, mama saya biasanya langsung balik ke bank dan mengembalikan uang itu.  

Si teller bank sudah cemas sekali karena mungkin sulit sekali mengidentifikasi customer mana yang terlebih pembayarannya. Kalaupun bisa teridentifikasi, pastinya jarang ada juga yang mau mengakui kalau uangnya memang terlebih. Dia mungkin mengira gajinya pasti akan dipotong karena kesalahan semacam itu. Wow, apakah mama saya angel? Mama saya bilang itu biasa saja. Tidak ada yang wah. Uang itu kan memang bukan haknya mama, makanya harus dikembalikan. Lagian kasian juga mbak teller-nya kalau udah capek-capek kerja sebulan penuh malah kena potong gaji karena kesalahan semacam itu. Coba tempatkan diri kita di posisi mbak teller itu, kata mama.

Dan ternyata benar teori mama itu. Pernah satu kali, setelah semua kasus bank itu, mama terlebih membayarkan gaji stafnya dan uang itu tidak pernah dikembalikan. Dengan uang itu semestinya mama bisa membeli sesuatu yang sudah direncanakannya dari sebulan sebelumnya. Beliau jadi harus menunda rencananya tersebut. Saya pun ikut merasakan kesedihan mama. Kita tidak akan pernah tau apa yang dirasakan oleh orang lain jika kita tidak pernah merasakan apa yang mereka alami. Berempati memang susah, tapi harus dibiasakan. Gimana yah kalau setiap mama mengajarkan anaknya nilai semacam ini? Pasti kita bisa menekan jumlah kasus korupsi, perselingkuhan atau sejenisnya yah.

Saya bangga sekali punya mama yang memberikan contoh melalui keteladanan. Gak omdo, beliau benar-benar melakukan sesuatu yang berusaha ia ajarkan untuk anak-anaknya.

3.      Tunaikan hak orang lain sesegera mungkin

Mama saya selalu bilang,”Tunaikanlah hak orang lain sebelum kering keringatnya.” Beliau tidak pernah menunda-nunda semua pembayaran yang mesti beliau bayarkan. Mama juga selalu mengingatkan papa untuk segera membayar upah para pekerjanya sesegera mungkin.

4.      Bekerjalah dengan kemampuan terbaik dan penuh ketulusan

Saya belajar banyak tentang keikhlasan dalam bekerja dari mama. Mama memang tidak memiliki annual income setinggi dokter, CEO atau orang-orang dengan profesi lainnya. Tapi beliau selalu passionate tentang apa yang dilakukannya. Beliau mencintai pekerjaannya dan selalu berusaha yang terbaik untuk anak didiknya. Dari beliau saya belajar bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah, jadi harus dilakukan dengan kemampuan terbaik. Mama juga mengajarkan saya untuk tidak terlalu merisaukan penilaian manusia. Ada saat di mana orang tidak mampu memahami ketulusan kita, tapi tenang saja… Toh Allah Maha Melihat. Di mata Allah, hal sekecil apapun yang kita lakukan bernilai. Pemahaman macam ini membuat saya melalui banyak drama di tempat kerja tetap dengan hati yang riang dan penuh antusiasme.

5.      Hormati setiap orang

Mama selalu menghormati siapapun terlepas dari apapun latar belakang mereka. Contoh paling real-nya adalah perlakuan beliau terhadap bibi-bibi yang bantu-bantu di rumah. Beliau memperlakukan bibi-bibi itu seperti keluarga sendiri. Beliau tidak pernah bossy. Semua pekerjaan yang bisa beliau kerjakan sendiri dikerjakannya sendiri. Beliau juga selalu mencontohkan kalimat yang santun semacam, “Bi, tolong bantuin bersiin kitchen counter yah.” Saya gak pernah dengar mama bilang, “Bi, itu tuh kitchen counter-nya kotor banget. Bersiin dong. Gak pake lama yah.”

Dalam sebuah bedtime talk, beliau pernah bilang,” Tadi sore bibi cerita dia merasa kayak bagian dari keluarga kita. Dia bilang kalian juga selalu sopan sama dia.” Dengan senyum penuh bangga beliau melanjutkan,“Keep up the good work, anak-anak! Memang semestinya begitu.”



Brattleboro, 12 Mei 2014


P.S. Silakan baca Part 2 di sini




 

2 comments:

Anonymous said...

Mommy was a very thoughtful and admirable persona. She was one of the best thing I've ever had in my life. Proud to be her daughter.

Dian Mayasari said...

Sure, she is the kindest and most adorable woman I've ever met in mylife :) We're so lucky to be born as her daughter.

Post a Comment