CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Saturday, October 17, 2015

Surat untuk Ayahku

Dear Daddy,
Semalam aku tidur jam 1 pagi; sangat mencemaskan kondisi daddy sampai-sampai tidak bisa tidur.  Sebelum tidur,  aku mengobrol dengan dr. Danar. Di ujung obrolan tersebut, aku menyimpulkan bahwa aku harus menerima kenyataan; dengan kondisi saat itu daddy mungkin tidak akan bertahan lama. Pahit untuk diterima. Aku masih berharap keajaiban akan terjadi, meski kemungkinannya kecil sekali. Air mata jatuh berderaian. Bagaimanapun, kuputuskan untuk pulang ke Palembang besok pagi (hari ini). Kupejamkan mata, lalu terlelap dengan air mata yang masih membasahi pipi.
Setelah sholat subuh, ponselku berdering dan aku mendengar yuk Linda terisak mengabarkan bahwa daddy telah berpulang ke rahmat-Nya. Tangisku pun pecah. Hatiku rasanya hancur berkeping-keping detik itu juga. Aku menelpon line manager dan mengabarkan hal ini ke teman-teman kantor sambil terisak-isak. Aku mandi, book tiket dan sarapan dengan deraian airmata. Airmata tetap tak terbendung; aku menangis sepanjang perjalanan ke bandara; menangis tanpa henti di bandara. Pedih sekali hati ini rasanya, dad. Saat hati pedih seperti itu, hanya tangisan yang bisa melegakan.
Di bandara, biasanya daddy telah berdiri di depan pintu kedatangan menungguku. Hari ini aku tidak melihat daddy. Yang ada hanya yuk Ayit dan Kak Fatahillah. Aku telah merindukanmu detik itu juga, dad. Detik itu aku juga tahu bahwa hidup tidak akan pernah sama lagi. Perjalanan menuju rumah pun terasa panjang sekali. Sepanjang jalan, aku menahan tangis. Daddy tahu kan yuk Ayit bagaimana? Kalau aku menangis, yuk Ayit juga pasti akan menangis.
Di ruang tamu, aku melihat daddy terbujur kaku dan pucat. Tangisku pecah lagi. Unbelieveable, dad. We have so much to do. Kita mesti ke New Zealand untuk wisuda Rini tahun depan. Kita belum berhaji bersama. Daddy juga belum menikahkan aku. Daddy belum melihat anaknya Rini dan anakku. Dan masih banyak hal lainnya yang sudah kita rencanakan. We have so much to do, dad.
Lalu, kubisikkan pada daddy, “Daddy, aku sedih sekali. Tapi daddy jangan cemas, aku insya Allah akan baik-baik saja. Aku insya Allah akan menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Ada yuk Linda, yuk Ayit dan Rini yang bersamaku.” Aku serius, dad. Jangan cemas. Aku tahu kecemasan terbesar dalam hidup mommy adalah meninggalkan aku dan Rini sebagai yatim/piatu/ yatim piatu dalam usia yang terlalu muda dan membuat kami terlantar. Daddy mungkin juga punya kecemasan yang sama.
Terima kasih sudah berjuang sekuat tenaga untuk tetap hidup dan memberikan aku kesempatan untuk merawat daddy di RS. Selama di rumah sakit, setiap pagi daddy selalu menceritakan lelucon untuk menghiburku. Daddy sakit, tapi masih saja berusaha menghibur aku. Maafkan aku yang selalu memaksa daddy makan. Aku tidak tahu bahwa daddy tidak mau makan karena perut daddy terasa perih sekali. Daddy tahu kan, aku selalu bahagia dengan pilihan apun yang kuambil dalam hidupku. Tapi ternyata aku juga bisa menyesal; sangat menyesal tidak kuliah di Fakultas Kedokteran saat mommy dan daddy sakit dan menderita seperti itu. Tapi aku tahu aku juga mungkin tidak akan bisa menyelamatkan mommy dan daddy meski aku seorang dokter.
Dad, terima kasih telah mencoba sebaik mungkin untuk menjadi ayah sekaligus ibu untuk kami setelah kepergian mommy. Pasti sulit sekali yah, dad. Aku sangat mengapresiasi segala upaya daddy itu. Keluarga kita tak pernah sama lagi sejak mommy pergi. Tapi kita semua berusaha menjalani hidup senormal mungkin karena setidaknya kami masih memiliki daddy.
Terima kasih telah selalu mendukung setiap pilihan dalam hidupku, dad. Daddy tidak pernah bertanya kenapa aku memilih ini, kenapa memilih itu. Tidak semua perempuan beruntung memiliki ayah seperti itu. Ini adalah salah satu hal yang selalu aku syukuri dalam hidupku, dad.
Daddy sayang, terima kasih telah mengirimku kuliah ke Amerika. Kembali melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, belajar banyak hal baru, bertemu professor yang hebat dan teman-teman yang luar biasa adalah seperti proses metamorphosis untukku, dad. Semua itu juga banyak membantu mengurangi luka hatiku karena kehilangan mommy.
Terima kasih telah selalu memperlakukan aku seperti seorang putri dan memperbolehkan aku melakukan apapun yang aku mau. Ke manapun aku pergi, daddy akan selalu mengantarku dan karena itu aku tidak perlu naik kendaraan umum. Aku juga ingat daddy setiap hari menelpon bertanya “Gimana? Aman?” ketika aku pertama kali ke Ambon  untuk menjalankan program yang sebelumnya selalu aku impikan di tahun 2014. Daddy pasti cemas sekali, tapi daddy tidak melarang aku berangkat ke Ambon. Jujur, sebenarnya aku juga agak cemas karena aku sebelumnya tidak pernah ke daerah post-conflict. Terima kasih sudah mencemaskanku, dad.
Anyway, terima kasih juga karena tidak pernah sekalipun bertanya “Kapan nikah?” Itu adalah pernyataan yang membuat semua orang single takut menghadapi lebaran, hari yang semestinya sangat membahagiakan, karena mereka pasti akan ditanya seluruh sanak saudaranya dengan pertanyaan itu dan mereka tidak tahu mesti menjawabnya bagaimana. Daddy tahu kan,  aku juga selalu ingin menikah. Sama seperti orang lain, aku ingin bersama dengan laki-laki yang mencintaiku dan berbahagia. Daddy berjanji akan jadi wali saat ijab kabulku. Tak apa, nanti insya Allah akan diwalikan hakim saja, dad.
Mataku sakit karena sudah menangis seharian, dad. Hari ini jarak antara Jakarta dan Sirah Pulau Padang terasa sepuluh kali lipat lebih jauh dari jarak New York dan Jakarta. Banyak sekali yang ingin kukatakan pada daddy. Tapi jangan khawatir, ya. Aku insya Allah akan baik-baik saja. Seperti janjiku pada mommy, aku juga berjanji pada daddy bahwa aku insya Allah akan hidup dengan baik dan bahagia. Aku akan melanjutkan semua rencana kita, mimpi kita. Sesulit apa pun keadaan, aku tidak akan pernah menyerah. Sebanyak apa pun aku jatuh dan terluka, aku akan bangkit dan mencapai semuanya. Aku akan kuat dan tetap teguh menatap masa depan. Tidak satu menit pun aku akan melupakan semua cinta yang mommy dan daddy berikan untukku.
Kami akan terus menghubungi daddy melalui doa-doa kami. Semoga kita bertemu lagi di surga-Nya kelak. Satu hal yang harus daddy tahu, daddy adalah ayah hebat yang selalu kami cintai.  

Sirah Pulau Padang, 10 September 2015, dengan penuh airmata.





2 comments:

Asep Haryono said...

Saya bisa memahami kesedihan mba Dian sekeluarga. Karena saya juba mengalami hal yang sama. Ibunda saya wafat 11 September 2015 yang lalu di RS Bekasi,. Saya tidak sempat mencium keningnya. Tidak sempat melihat wajah ibunda saya untuk terakhir kalinya. Mari kita perereat silaturhami yang sudah diwariskan oleh kedua orang tua kita (alm).

purhendi said...

Waktu akan terus melaju, dan kisah akan datang silih berganti, dengan beribu rupa, beribu rona. Kita hanyalah antrean, yang tengah menunggu giliran.

Post a Comment