Dear
Daddy,
Semalam aku tidur
jam 1 pagi; sangat mencemaskan kondisi daddy
sampai-sampai tidak bisa tidur. Sebelum
tidur, aku mengobrol dengan dr. Danar.
Di ujung obrolan tersebut, aku menyimpulkan bahwa aku harus menerima kenyataan;
dengan kondisi saat itu daddy mungkin tidak akan bertahan lama. Pahit untuk
diterima. Aku masih berharap keajaiban akan terjadi, meski kemungkinannya kecil
sekali. Air mata jatuh berderaian. Bagaimanapun, kuputuskan untuk pulang ke
Palembang besok pagi (hari ini). Kupejamkan mata, lalu terlelap dengan air mata
yang masih membasahi pipi.
Setelah sholat
subuh, ponselku berdering dan aku mendengar yuk Linda terisak mengabarkan bahwa
daddy telah berpulang ke rahmat-Nya.
Tangisku pun pecah. Hatiku rasanya hancur berkeping-keping detik itu juga. Aku
menelpon line manager dan mengabarkan hal ini ke teman-teman kantor sambil
terisak-isak. Aku mandi, book tiket
dan sarapan dengan deraian airmata. Airmata tetap tak terbendung; aku menangis
sepanjang perjalanan ke bandara; menangis tanpa henti di bandara. Pedih sekali
hati ini rasanya, dad. Saat hati
pedih seperti itu, hanya tangisan yang bisa melegakan.
Di bandara,
biasanya daddy telah berdiri di depan
pintu kedatangan menungguku. Hari ini aku tidak melihat daddy. Yang ada hanya yuk Ayit dan Kak Fatahillah. Aku telah
merindukanmu detik itu juga, dad. Detik
itu aku juga tahu bahwa hidup tidak akan pernah sama lagi. Perjalanan menuju
rumah pun terasa panjang sekali. Sepanjang jalan, aku menahan tangis. Daddy
tahu kan yuk Ayit bagaimana? Kalau aku menangis, yuk Ayit juga pasti akan
menangis.
Di ruang tamu, aku
melihat daddy terbujur kaku
dan pucat. Tangisku pecah
lagi. Unbelieveable, dad. We have so much
to do. Kita mesti ke New Zealand untuk wisuda Rini tahun depan. Kita belum
berhaji bersama. Daddy juga belum menikahkan
aku. Daddy belum melihat anaknya Rini
dan anakku. Dan masih banyak hal lainnya yang sudah kita rencanakan. We have so much to do, dad.
Lalu, kubisikkan
pada daddy, “Daddy, aku sedih sekali.
Tapi daddy jangan cemas, aku insya
Allah akan baik-baik saja. Aku insya Allah akan menjalani hidup dengan
sebaik-baiknya. Ada yuk Linda, yuk Ayit dan Rini yang bersamaku.” Aku serius, dad. Jangan cemas. Aku tahu kecemasan
terbesar dalam hidup mommy adalah meninggalkan
aku dan Rini sebagai yatim/piatu/ yatim piatu dalam usia yang terlalu muda dan
membuat kami terlantar. Daddy mungkin
juga punya kecemasan yang sama.
Terima kasih sudah
berjuang sekuat tenaga untuk tetap hidup dan memberikan aku kesempatan untuk
merawat daddy di RS. Selama di rumah
sakit, setiap pagi daddy selalu
menceritakan lelucon untuk menghiburku. Daddy
sakit, tapi masih saja berusaha menghibur aku. Maafkan aku yang selalu memaksa daddy makan. Aku tidak tahu bahwa daddy tidak mau makan karena perut daddy terasa perih sekali. Daddy tahu kan, aku selalu bahagia
dengan pilihan apun yang kuambil dalam hidupku. Tapi ternyata aku juga bisa menyesal;
sangat menyesal tidak kuliah di Fakultas Kedokteran saat mommy dan daddy sakit dan
menderita seperti itu. Tapi aku tahu aku juga mungkin tidak akan bisa
menyelamatkan mommy dan daddy meski aku seorang dokter.
Dad,
terima kasih telah mencoba sebaik mungkin untuk menjadi ayah sekaligus ibu
untuk kami setelah kepergian mommy. Pasti
sulit sekali yah, dad. Aku sangat
mengapresiasi segala upaya daddy itu.
Keluarga kita tak pernah sama lagi sejak mommy
pergi. Tapi kita semua berusaha menjalani hidup senormal mungkin karena
setidaknya kami masih memiliki daddy.
Terima kasih telah
selalu mendukung setiap pilihan dalam hidupku, dad. Daddy tidak pernah
bertanya kenapa aku memilih ini, kenapa memilih itu. Tidak semua perempuan
beruntung memiliki ayah seperti itu. Ini adalah salah satu hal yang selalu aku
syukuri dalam hidupku, dad.
Daddy sayang,
terima kasih telah mengirimku kuliah ke Amerika. Kembali melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi, belajar banyak hal baru, bertemu professor yang
hebat dan teman-teman yang luar biasa adalah seperti proses metamorphosis untukku,
dad. Semua itu juga banyak membantu mengurangi
luka hatiku karena kehilangan mommy.
Terima kasih telah
selalu memperlakukan aku seperti seorang putri dan memperbolehkan aku melakukan
apapun yang aku mau. Ke manapun aku pergi, daddy
akan selalu mengantarku dan karena itu aku tidak perlu naik kendaraan umum. Aku
juga ingat daddy setiap hari menelpon
bertanya “Gimana? Aman?” ketika aku pertama kali ke Ambon untuk menjalankan program yang sebelumnya
selalu aku impikan di tahun 2014. Daddy
pasti cemas sekali, tapi daddy tidak
melarang aku berangkat ke Ambon. Jujur, sebenarnya aku juga agak cemas karena
aku sebelumnya tidak pernah ke daerah post-conflict.
Terima kasih sudah mencemaskanku, dad.
Anyway,
terima kasih juga karena tidak pernah sekalipun bertanya “Kapan nikah?” Itu adalah
pernyataan yang membuat semua orang single takut menghadapi lebaran, hari yang
semestinya sangat membahagiakan, karena mereka pasti akan ditanya seluruh sanak
saudaranya dengan pertanyaan itu dan mereka tidak tahu mesti menjawabnya
bagaimana. Daddy tahu kan, aku juga selalu ingin menikah. Sama seperti
orang lain, aku ingin bersama dengan laki-laki yang mencintaiku dan berbahagia.
Daddy berjanji akan jadi wali saat
ijab kabulku. Tak apa, nanti insya Allah akan diwalikan hakim saja, dad.
Mataku sakit karena sudah menangis
seharian, dad. Hari ini jarak antara Jakarta dan Sirah Pulau Padang terasa sepuluh kali lipat lebih jauh dari jarak New York dan Jakarta. Banyak
sekali yang ingin kukatakan pada daddy.
Tapi jangan khawatir, ya. Aku
insya Allah akan baik-baik saja. Seperti janjiku pada mommy, aku juga berjanji pada daddy
bahwa aku insya Allah akan hidup dengan baik dan
bahagia. Aku akan melanjutkan semua rencana kita, mimpi kita.
Sesulit apa pun keadaan, aku tidak akan pernah menyerah. Sebanyak apa pun aku
jatuh dan terluka, aku akan bangkit dan mencapai semuanya. Aku akan kuat dan
tetap teguh menatap masa depan. Tidak satu menit pun aku akan melupakan semua
cinta yang mommy dan daddy berikan untukku.
Kami akan terus
menghubungi daddy melalui doa-doa
kami. Semoga kita bertemu lagi di surga-Nya kelak. Satu hal yang harus daddy tahu, daddy adalah ayah hebat yang selalu kami cintai.
Sirah Pulau Padang, 10 September 2015, dengan penuh
airmata.
2 comments:
Saya bisa memahami kesedihan mba Dian sekeluarga. Karena saya juba mengalami hal yang sama. Ibunda saya wafat 11 September 2015 yang lalu di RS Bekasi,. Saya tidak sempat mencium keningnya. Tidak sempat melihat wajah ibunda saya untuk terakhir kalinya. Mari kita perereat silaturhami yang sudah diwariskan oleh kedua orang tua kita (alm).
Waktu akan terus melaju, dan kisah akan datang silih berganti, dengan beribu rupa, beribu rona. Kita hanyalah antrean, yang tengah menunggu giliran.
Post a Comment