Tahun
ini saya mendapat kesempatan menjalani ibadah puasa di negeri Paman
Sam. Awalnya saya agak ketar-ketir. Saya benar-benar tidak punya pengalaman
berpuasa di musim panas. Tahun 2010 dulu saya hanya di USA selama 2 musim, Winter
dan Spring. Summer membuat banyak hal terlihat cukup kompleks. Karena waktu
siang yang jauh lebih panjang dari malam, jarak antara maghrib dan imsyak dekat
sekali. Maghrib pukul 20:30 EST, Isya 22:30 EST dan imsyak pukul 3:20
pagi. Jadi, rentang keduanya hanya 7
jam. Dalam 7 jam itu saya harus sholat wajib dan sunnah lainnya, makan, minum
dan tidur secukupnya. Bagaimana bisa? No
clue. Saya juga tidak tahu bagaimana jadinya berpuasa 18 jam. Sanggupkah
saya? Seratus tanda tanya.
Sebulan
sebelumnya, saya pun mulai memikirkan strategi. Saya berkonsultasi dengan
senior yang sudah menjalani Ramadhan di USA tahun lalu. Senior itu
mewanti-wanti saya untuk mengkonsumsi air sebanyak mungkin ketika malam agar
tidak dehidrasi. Dia bilang tahun lalu dia hampir dehidrasi. Dia menyarankan strategi unik untuk tidak
tidur sepanjang malam dan tidur sepanjang siang. Tapi no..no..no…. It will not
work for me. Saya sedang praktikum dan harus bekerja dari pukul 8:30-16:00
EST selama weekdays. Senior lainnya
bercerita tentang seorang temannya yang belajar di UK dan berpuasa sesuai waktu
Indonesia. Untuk catatan, waktu siang pas
Summer di negara-negara Eropa biasanya jauh lebih panjang dibanding USA.
Tapi itu dilematis. Saya masih muda dan, alhamdulillah, sehat wal afiat. Jika saya begitu, akankah
Allah menerima puasa saya? Ataukah saya hanya dapat lapar dan haus saja? Terlalu beresiko. Ramadhan hanya sekali
setahun dan begitu spesial.
Seminggu
sebelum hari pertama Ramadhan, saya masih belum menemukan strategi yang tepat. At that point, saya pikir Rini, kembaran
saya yang sedang kuliah di New Zealand (NZ), beruntung sekali. NZ sekarang
sedang Winter. Karena siang yang jauh
lebih pendek, waktu berbuka adalah sekitar pukul 5 sore. Ah, I wish I were in NZ. Tapi… No, you may not say such a thing, Dian
Mayasari! batin saya. Saya ceritakan
semua hasil “riset” saya ke Rini. Kembaran saya itu mengatakan satu hal yang
sangat mengejutkan saya. Dia bilang, “Puasa yah puasa aja. Gak perlu pake
strategi.” Mmmm.. benar juga yah.. Saat semua strategi sepertinya tidak akan bekerja
dengan baik, kita hanya perlu mengucapkan “Bismillah.”
Semua
kekhawatiran tidak boleh mengalahkan rasa syukur karena telah dipertemukan
Ramadhan lagi. Sekali spesial, tetap spesial. Mau di Indonesia atau belahan
bumi manapun, Ramadhan tetap bulan yang istimewa yang perlu diisi dengan
sebaik-baiknya. Tidak perlu khawatir. Allah berjanji, “Maka sesungguhnya
bersama kesulitan ada kemudahan. Bersama kesulitan ada kemudahan” (Q.S. Al
Insyiraah: 5 – 8). Dia tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kesanggupan
hamba tersebut (QS Al Baqarah: 286). Saya boleh saja meragukan kemampuan diri
sendiri, tapi harus tetap selalu percaya pada-Nya. Jadi, saya sambut Ramadhan
yang mulia dengan antusiasme dan lafadz basmallah. Biar tambah ceria, saya putar
deh “Ramadhan Tiba” Opick berulang-ulang.
Marhaban ya Ramadhan….
#Brattleboro, 5 Juli 2013