CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Wednesday, February 23, 2011

Hidup dan Pilihan

“I am the captain of my soul.” -Nelson Mandela
Hidup adalah perguliran dari pilihan demi pilihan. Dan setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. Saya pernah bertanya pada ibu kenapa beliau selalu menerima rasionalisasi-rasionalisasi saya. Saya tak paham kenapa beliau tidak pernah memaksakan kehendaknya terhadap saya, seperti kebanyakan orang tua lainnya. Misalnya saja ketika saya dan Rini memilih IPS sebagai jurusan saya ketika kelas 3. Beliau tidak ngotot bahwa saya harus masuk IPA, seperti ibu-ibu teman saya lainnya. Padahal alasan saya untuk memilih IPS cukup sederhana. Saya memilih IPS karena saya memiliki minat yang lebih besar terhadap ilmu sosial. Saya sebenarnya yakin saya bisa saja survive jika masuk IPA, tapi di sana saya hanya akan jadi average people.
Atau ketika saya memutuskan untuk SPMB walau pun dengan persiapan seadanya setelah hasil PMDK tidak sesuai harapan saya. Saya mungkin memang menyukai pelajaran bahasa Indonesia. Tapi saya tidak yakin akan bisa menjalani hari-hari hanya dengan belajar bahasa Indonesia. Terlebih lagi, saya tidak akan bisa melakukan petualangan apa pun lagi dengan bahasa Indonesia itu. Dengan bahasa Indonesia itu, saya hanya akan sticked around Indonesia saja. Belajar bahasa Inggris bagi saya adalah batu loncatan (stepping stone) untuk mencapai mimpi-mimpi saya lainnya. Sekali lagi saya berspekulasi. Ibu cemas sekali. Saya bisa saja tidak lulus SPMB, harus menganggur satu tahun, dan ikut SPMB lagi tahun depannya. Itu kemungkinan terburuk. Saya tahu itu, dan saya siap menerimanya. Itu lebih baik dari pada harus melakukan sesuatu yang tidak benar-benar ingin saya lakukan. Itu lebih baik dari pada menjalani hidup yang tidak akan saya sukai.
Juga ketika saya berkata bahwa saya ingin menimbah ilmu di negeri orang. Saya katakan pada ibu bahwa kuliah S1 hanya satu kali seumur hidup, jadi saya ingin mencoba setiap kesempatan yang ada di depan mata saya. Karena kuliah S1 hanya satu kali seumur hidup, saya ingin menjalani dengan hal-hal positif. Saat semester 2, saya pernah mencoba beasiswa pertukaran ke Jepang, namun gagal pada tes terakhir. Saya hanya masuk dalam kategori lima besar kampus, dan yang berangkat ke Jepang hanya yang nomor satu, seorang senior dari FT angkatan 2004. Semester ke 4, saya mencoba lagi beasiswa ke USA. Saya meyakinkan ibu bahwa saya tidak akan sedih jika kali ini juga bukan rejeki saya. Saya akan terus mencoba hingga saya mendapatkannya.
Dalam peristiwa-peristiwa besar itu, kenapa beliau tidak sekali saja meminta saya agar mengikuti keinginan beliau. Kenapa beliau selalu setuju pada pilihan saya? Kenapa beliau selalu menerima logika berpikir saya? Beliau menjawabnya dengan penjelasan pendek saja.
“Karena hidup ini adalah hidupmu. Kau adalah orang paling pertama yang akan menanggung konsekuensi dari setiap pilihanmu itu. Jika kau tahu apa yang kau lakukan, konsekuensinya nanti apa saja, dan kau siap menanggungnya, bagi ibu itu sudah lebih dari cukup,” katanya.
Saya benar-benar terharu mendengar jawaban ibu. Dengan jawaban semacam itu, ibu mengajarkan saya bahwa setiap pilihan itu harus diambil dengan kesadaran penuh dan kesiapan atas segala konsekuensinya. Sepakat dengan kata-kata ibu dan Nelson Mandela itu, saya ingin menjadi tuan atas hidup saya. Karena hidup hanya sekali, dan begitu singkat, saya ingin membuatnya benar-benar bermakna bagi saya dan orang-orang lain di sekitar saya. Saya ingin melakukan semua yang ingin saya lakukan. Saya ingin mencapai semua yang saya impikan. Tidak peduli berapa banyak penderitaan yang harus saya tanggung untuk menuju titik itu, saya akan menahankannya. Saya tahu saya mungkin akan jatuh, terluka, dan menangis berkali-kali, tapi saya akan tetap bangkit dan terus berjalan meski harus terseok-seok.

#Jogjakarta, 22 Februari 2011, 23: 00 WIB

0 comments:

Post a Comment