CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Saturday, July 9, 2011

Surat untuk Mommy

Dear Mommy,

Rumah tiba-tiba terasa begitu sepi tanpamu. Belum satu hari, tapi aku sudah sangat merindukanmu. Benar-benar rindu, mom. Tapi jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja. Aku akan hidup dengan baik. Aku janji akan melanjutkan semua rencana kita, mimpi kita. Sesulit apa pun keadaan, aku tidak akan pernah menyerah. Sebanyak apa pun aku jatuh dan terluka, aku akan bangkit dan mencapai semuanya. Aku akan kuat dan tetap teguh menatap masa depan. Tidak satu menit pun aku akan melupakan semua yang mommy sudah berikan untukku selama 22 tahun 4 bulan 13 hari ini. Aku janji, mom.

Berliburlah dengan tenang, mom. Aku tahu mommy sudah melakukan yang terbaik. Aku tahu mommy sangat ingin melihat aku hidup bahagia, menikah, mendidik anak-anakku dengan baik, mengerjakan proyek-proyek sosial yang bermanfaat untuk banyak orang, dan berada pada puncak karirku. Karena itu, mommy berjuang untuk tetap dalam keadaan conscious setelah serangan hari Rabu, 22 Juni 2011, itu. Tahukah mommy bahwa 35 % dari orang yang mengalami serangan serupa meninggal dalam hitungan menit, mereka tidak pernah mencapai RS. Tapi mommy? Mommy bahkan tetap dalam keadaan conscious sebelum operasi berlangsung keesokan harinya. Aku tahu mommy juga telah berjuang sangat keras untuk survive selama 12 hari itu. Mommy orang yang luar biasa! Mommy adalah perempuan dengan ketegaran dan semangat yang luar biasa! Kami menghargai semua perjuangan mommy itu. Terima kasih, mom. Terima kasih telah memberikan aku, Rini, dad, dan yang lainnya kesempatan untuk tetap bersama mommy selama 12 hari itu. Terima kasih untuk usaha keras mommy itu.

Mommy tahu, mommy adalah ibu terbaik di dunia ini. Mommy adalah orang paling pertama yang selalu mempercayaiku. Mommy selalu percaya pada setiap pilihan yang aku ambil dalam hidupku. Tidak pernah sekalipun mommy memaksakan pilihan mommy padaku. Mommy selalu mendengarkan semua ceritaku, sesepele apa pun itu. Mommy selalu tahu kapan harus bersikap seperti teman sebaya, seperti kakak perempuan, dan seperti seorang ibu. Semua itu sangat sangat berarti untukku, mom. Karena semua itu, aku selalu ingin menjadi yang terbaik di manapun aku berada. Selalu ingin jadi anak yang membanggakan dan bisa membahagiakan mommy.Terima kasih untuk semua itu. Benar-benar tidak tahu harus membalasnya dengan apa, mom. Jika orang bilang bahwa kepercayaan hanya bisa dibayar dengan “bukti,” aku akan memberikan mommy “bukti.” Aku janji, mom. Aku janji bahwa mommy tidak akan menyesal karena telah selalu percaya padaku.

Mommy tahu, mommy adalah keajaiban terbesar yang terjadi dalam hidupku. Mommy adalah inspirasi yang begitu nyata untukku. Karena mommy, hidup menjadi begitu luar biasa. Karena doa-doa mommy, banyak keajaiban lainnya yang terjadi dalam hidupku. Terima kasih mom.

Mommy tahu, mommy adalah seorang pendidik sejati. Dari mommy, aku belajar banyak hal yang tidak pernah bisa diajarkan di sekolah manapun. Tentang hidup, pilihan dalam hidup, cinta, pengabdian, pencapaian, pernikahan, dan hal lainnya. Aku akan terus mengingat itu setiap hal yang telah mommy ajarkan itu. Insya Allah aku juga akan mengajarkannya kepada anak-anakku nanti, mom. Seperti mommy, insya Allah aku juga akan menjadi ibu terbaik di dunia ini untuk mereka. Seperti mommy, insya Allah aku juga akan jadi ibu yang membanggakan untuk anak-anakku. Aku janji, mom. Janji!

Lihat, mom. Aku selalu punya begitu banyak hal yang ingin kuceritakan pada mommy. Bahkan selama di USA dulu, badanku bakal panas dingin jika 3 hari saja tidak menelpon mommy. Secara fisik, kita terpisah jarak lagi sekarang. Mommy pergi ke tempat yang gak ada internet, LAN, wifi, hp, dan tukang posnya. Aku hanya bisa menjangkau mommy dengan doa-doaku. Mommy bilang doa bisa menjangkau jarak sejauh apa pun. Jika begitu, setidaknya lima kali sehari aku akan menghubungi mommy. Mommy tidak akan kesepian, kami akan terus menghubungi mommy melalui doa-doa kami. Jangan sedih. Kita hanya berpisah untuk sementara waktu, mom. Saat kita bertemu lagi di surga-Nya, mommy akan memelukku kan? Yah kan, mom?

#Sirah Pulau Padang, 5 Juli 2011, 16:00 WIB


Wednesday, February 23, 2011

Hidup dan Pilihan

“I am the captain of my soul.” -Nelson Mandela
Hidup adalah perguliran dari pilihan demi pilihan. Dan setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. Saya pernah bertanya pada ibu kenapa beliau selalu menerima rasionalisasi-rasionalisasi saya. Saya tak paham kenapa beliau tidak pernah memaksakan kehendaknya terhadap saya, seperti kebanyakan orang tua lainnya. Misalnya saja ketika saya dan Rini memilih IPS sebagai jurusan saya ketika kelas 3. Beliau tidak ngotot bahwa saya harus masuk IPA, seperti ibu-ibu teman saya lainnya. Padahal alasan saya untuk memilih IPS cukup sederhana. Saya memilih IPS karena saya memiliki minat yang lebih besar terhadap ilmu sosial. Saya sebenarnya yakin saya bisa saja survive jika masuk IPA, tapi di sana saya hanya akan jadi average people.
Atau ketika saya memutuskan untuk SPMB walau pun dengan persiapan seadanya setelah hasil PMDK tidak sesuai harapan saya. Saya mungkin memang menyukai pelajaran bahasa Indonesia. Tapi saya tidak yakin akan bisa menjalani hari-hari hanya dengan belajar bahasa Indonesia. Terlebih lagi, saya tidak akan bisa melakukan petualangan apa pun lagi dengan bahasa Indonesia itu. Dengan bahasa Indonesia itu, saya hanya akan sticked around Indonesia saja. Belajar bahasa Inggris bagi saya adalah batu loncatan (stepping stone) untuk mencapai mimpi-mimpi saya lainnya. Sekali lagi saya berspekulasi. Ibu cemas sekali. Saya bisa saja tidak lulus SPMB, harus menganggur satu tahun, dan ikut SPMB lagi tahun depannya. Itu kemungkinan terburuk. Saya tahu itu, dan saya siap menerimanya. Itu lebih baik dari pada harus melakukan sesuatu yang tidak benar-benar ingin saya lakukan. Itu lebih baik dari pada menjalani hidup yang tidak akan saya sukai.
Juga ketika saya berkata bahwa saya ingin menimbah ilmu di negeri orang. Saya katakan pada ibu bahwa kuliah S1 hanya satu kali seumur hidup, jadi saya ingin mencoba setiap kesempatan yang ada di depan mata saya. Karena kuliah S1 hanya satu kali seumur hidup, saya ingin menjalani dengan hal-hal positif. Saat semester 2, saya pernah mencoba beasiswa pertukaran ke Jepang, namun gagal pada tes terakhir. Saya hanya masuk dalam kategori lima besar kampus, dan yang berangkat ke Jepang hanya yang nomor satu, seorang senior dari FT angkatan 2004. Semester ke 4, saya mencoba lagi beasiswa ke USA. Saya meyakinkan ibu bahwa saya tidak akan sedih jika kali ini juga bukan rejeki saya. Saya akan terus mencoba hingga saya mendapatkannya.
Dalam peristiwa-peristiwa besar itu, kenapa beliau tidak sekali saja meminta saya agar mengikuti keinginan beliau. Kenapa beliau selalu setuju pada pilihan saya? Kenapa beliau selalu menerima logika berpikir saya? Beliau menjawabnya dengan penjelasan pendek saja.
“Karena hidup ini adalah hidupmu. Kau adalah orang paling pertama yang akan menanggung konsekuensi dari setiap pilihanmu itu. Jika kau tahu apa yang kau lakukan, konsekuensinya nanti apa saja, dan kau siap menanggungnya, bagi ibu itu sudah lebih dari cukup,” katanya.
Saya benar-benar terharu mendengar jawaban ibu. Dengan jawaban semacam itu, ibu mengajarkan saya bahwa setiap pilihan itu harus diambil dengan kesadaran penuh dan kesiapan atas segala konsekuensinya. Sepakat dengan kata-kata ibu dan Nelson Mandela itu, saya ingin menjadi tuan atas hidup saya. Karena hidup hanya sekali, dan begitu singkat, saya ingin membuatnya benar-benar bermakna bagi saya dan orang-orang lain di sekitar saya. Saya ingin melakukan semua yang ingin saya lakukan. Saya ingin mencapai semua yang saya impikan. Tidak peduli berapa banyak penderitaan yang harus saya tanggung untuk menuju titik itu, saya akan menahankannya. Saya tahu saya mungkin akan jatuh, terluka, dan menangis berkali-kali, tapi saya akan tetap bangkit dan terus berjalan meski harus terseok-seok.

#Jogjakarta, 22 Februari 2011, 23: 00 WIB