CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Thursday, February 21, 2013

My Rini




         Saya selalu ingin menulis sesuatu tentang seorang Rini Mayasari dari persepektif saya sebagai kakak, adik, dan teman terdekatnya. Saya ingin mengabadikan setiap momen berharga yang telah kami lalui berdua melalui tulisan saya. Entah itu novel, biografi, atau apapun namanya. Ada begitu banyak hal yang tidak ingin saya lupakan seiring dengan berjalannya waktu, bertambah sibuknya hidup, dan semakin melemahnya daya ingat kita sebagai manusia. Mungkin seperti itu juga alasan Pak Habibie yang menulis “Ainun dan Habibie.”  Atau malah mungkin nanti saya juga akan menulis “Rini dan Dian.” *becanda, tapi serius
Sebelum memulai menulis tentang Rini, saya meluangkan sedikit waktu untuk browsing tentang kelahiran kembar. Amerika Latin, Asia Selatan, dan Asia Tenggara ternyata memiliki angka kelahiran kembar terendah di dunia; enam hingga sembilan pasang per seribu kelahiran. Cukup banyak juga riset yang tentang anak-anak kembar, mulai dari kemampuan akademik hingga kecerdasan emosional. Yang terbaru, seorang profesor ilmu politik dari sebuah universitas ternama di Amerika Serikat menemukan bahwa 60 persen lebih dari para kembar dari Amerika dan Australia yang ditelitihnya memiliki keyakinan politik yang sama.
Terlahir sebagai kembar, saya dan Rini berbagi banyak hal, bahkan sejak dalam kandungan. Rini memberikan saya apapun yang dia miliki, kecuali pacarnya. Saya membagi apapun yang saya miliki dengannya, kecuali mie instan.  What? Rini loves her boyfriend itu wajar. Nah saya? Jawaban logisnya, saya mencintai mie instan sama seperti Rini mencintai pacarnya.  Tapi please pacarnya Rini jangan disamakan dengan mie instan yah. LOL
Rini adalah orang ke dua terpenting dalam hidup saya, setelah mom tentunya. Saat saya bahagia, sedih, marah, bosan, kesal, takut, terharu, atau so forth, Rini adalah orang pertama yang saya beri tahu. Ada yang kurang tanpa Rini. Satu hari saja tanpa Rini, hidup akan terasa sangat, sangat, dan  sangat sepi. Maka, hal kedua yang saya lakukan setelah bangun tidur adalah mengecek BBM, whatssapp, atau inbox sms darinya.
Karena dia adalah VVVIP bagi saya, tidak pernah ada rahasia antara kami berdua. Saya menceritakan segalanya, bahkan hal-hal yang sangat remeh pun.  Dan Rini selalu dengan sabar mendengarkan semuanya, termasuk cerita-cerita konyol saya. Dia juga tetap bersabar ketika saya mulai mengupas tentang teori-teori memusingkan yang saya pelajari di kelas-kelas saya.  Saya pikir tidak ada orang yang bisa lebih bersabar dalam berdiskusi dengan saya selain Rini.
Rini juga selalu menjadi semacam guardian angel untuk saya. Dia adalah orang yang paling pertama membela saya dalam hal apa pun Ketika dulu tersebar rumor bahwa saya mencontek setelah ulangan harian (UH) di D’ Bastille (sebutan untuk SMA saya),  Rini dengan beraninya menemui salah satu penyebar rumor dan meminta orang itu untuk mengklarifikasinya. Ketika seorang kakak kelas membuat saya patah hati, Rini juga nekat “menginterogasi” kakak kelas tersebut.
Jarak bermil-mil jauhnya juga tidak mengubah apa pun. Rini menemani saya dalam proses panjang aplikasi Global UGrad. Dia memberi banyak masukan untuk draft personal statement  saya. Dini hari sebelum wawancara di AMINEF dia juga menelpon & menyemangati saya dari Los Angeles (LA).  Selain itu, dia memilih menghabiskan libur musim dinginnya di LA agar dapat membelikan saya PSP & kamera.
Setelah saya lulus kuliah, Rini memberikan tabungan terakhirnya untuk meng-cover segala biaya yang berhubungan dengan aplikasi Erasmus Mundus saya. Akhir 2010 dan awal 2011, dia juga membiayai  perjalanan saya ke Bandung, Bangkok, dan Jogja. Setiap kali bepergian ke mana pun, Rini yang sangat suka traveling juga selalu membelikan banyak oleh-oleh untuk saya. She’s my hero.
Seorang Rini Mayasari juga merupakan inspirasi terbesar kedua dalam hidup saya. Saya mengagumi Rini yang sangat visionary, persistent, dan optimis tentang mimpi-mimpinya. Dia sangat serius tentang mimpinya untuk menimba ilmu di luar negeri. Dalam enam tahun terakhir Rini sudah apply 10 jenis beasiswa. Dia mencoba Monbhukagakuso di tahun 2006, SPACE dan Global UGrad di tahun 2007, 2 jenis beasiswa Erasmus Mundus di tahun 2010, Fulbright, ALA dan New Zealand-ASEAN di tahun 2011, dan New Zealand-ASEAN, ADS, dan DAAD di tahun 2012.  Meski dengan segala keterbatasan waktu, dia tetap mengerjakan aplikasi beasiswa apa pun dengan penuh semangat. Kadang saya geleng-geleng kepala melihat “kenekatan” Rini.
Di tahun 2008, Rini memberikan inspirasi yang SUPER LUAR BIASA dengan memenangkan beasiswa Global UGrad dan bertolak menuju Los Angeles pada 27 Mei 2008. Rini menjadi orang pertama dalam keluarga kami yang mengecap pendidikan di luar negeri setelah bertahun-tahun kami berdua berjuang untuk mendapatkan kesempatan itu. Itu adalah momentum yang sangat penting bagi saya. Rini membuktikannya, nothing is impossible. Rini membuktikan bahwa seorang anak dari keluarga abdi negara pun bisa menimba ilmu di luar negeri. Rini membuktikan bahwa kami insya Allah, dengan segala pertolongan dari Allah SWT tentunya, bisa mencapai apa pun yang ingin kami capai jika kami bekerja keras dan take it seriously.
Kepeduliannya tentang isu sosial dan keinginannya untuk berkontribusi pada negeri ini juga sangat mengagumkan.  Saya angkat topi untuk Rini yang memilih bekerja sebagai Pengajar Muda di pedalaman Kalimantan Timur. Tentunya ada banyak sekali tantangan dalam bekerja di daerah yang sangat asing untuknya, mulai dari perbedaan budaya,  perspektif masyarkat yang tidak begitu peduli tentang pendidikan anak-anak mereka, hingga rendahnya etos kerja guru. Rini melalui semua itu dengan sangat baik. Dia menjadi seorang guru yang sangat dicintai siswanya,  dan seorang perempuan muda yang menginspirasi masyarakat setempat dan koleganya. Kadang saya merasa bersalah ketika saya bekerja di kantor yang yang ber-AC dan berfasilitas lengkap, sedangkan Rini harus bekerja dalam segala keterbatasan. Tapi saya pikir kami berdua hanya bekerja dalam dua konteks yang berbeda untuk satu tujuan yang sama, membangun negeri tercinta ini melalui pendidikan. *menghibur diri gitu yah.. LOL
Kami melalui begitu banyak masa sulit berdua. Dan saya belajar banyak dari ketegaran seorang Rini. Saya ingat sekali, hari itu adalah hari ke-lima setelah mommy operasi. Setelah sholat dzuhur, saya dan Rini duduk di depan paviliun mommy. Dia bercerita bahwa di sholatnya tadi dia berdoa semoga Allah memberikan yang terbaik untuk mom.  Dia memohon kesembuhan untuk beliau jika Allah masih mengizinkan kami untuk bersama beliau. Tapi jika Allah memutuskan bahwa mommy harus pergi, dia rela. Dia tidak ingin mom menderita. Sedangkan saya, di setiap sholat, hanya memohon semoga Allah memberikan saya kesempatan untuk bersama mommy dan membahagiakan beliau, bahkan jika beliau tidak bisa sama seperti sebelumnya pun tidak apa-apa bagi saya. Saya begitu mencintai beliau dan tidak siap berpisah dengannya. Saya akhirnya sadar, ternyata saya egois sekali. Saya semestinya berdoa dengan doa yang sama seperti doa Rini, tapi tetap saja...saya pikir saya benar-benar tidak sanggup jika harus berpisah dengan mommy. Air mata kami pun mengalir dengan deras.
Tiga bulan pertama setelah mom pergi, saya kadang masih menelpon Rini sambil menangis. Rini berkata, “It’s OK to cry.” Dan kami pun ended up menangis bersama di telpon. Sesaat setalah mom menghembuskan napas terakhirnya, saya berjanji pada beliau bahwa saya akan berusaha menjadi kakak terbaik sekaligus ibu untuk Rini. Saya sudah berusaha keras untuk membuat diri saya sangat sibuk dengan pekerjaan di kantor agar saya tidak mempunyai waktu dan energi untuk menangis. Saya bahkan volunteering untuk jadi pelatih salah satu youth program yang diadakan setiap weekend.  Tapi ternyata saya masih saja menangis saat memori saya recalling momen-momen bahagia bersama mommy.  After all, saya dan Rini berusaha untuk kuat dan saling menguatkan dalam melalui hari-hari tanpa ibu yang sangat kami cintai. 

         Terlahir mom yang dominan otak kiri dan dad yang dominan otak kanan merupakan anugerah yang luar biasa untuk saya dan Rini. Rini yang dominan otak kanan dan saya yang dominan otak kiri saling melengkapi satu sama lain. Jika dipikir-pikir, Rini dan saya juga survive banyak proses long distance love (LDL). Kami melalui LDL Los Angeles-Indralaya selama 2008-2009, Palembang-San Francisco  di 2010, Blebak- Palembang di 2011-pertengahan 2012, Blebak-Brattelboro di akhir 2012, dan Hamilton-Brattleboro di awal 2013-sekarang. Subhanallah.. Alhamdulillah… Terima kasih  Allah yang telah menganugerahkan saya seorang saudari kembar yang sangat luar biasa. Terima kasih Allah untuk semuanya yang terjadi dalam 24 tahun ini.  Saya ingin menutup tulisan ini dengan doa rabitha, doa pengikat hati,  untuk kami berdua.

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4OmSe2DoReGhCcGGUnb-_s-Ji_yx0jeZyBmSqNC_FHZOiRqchIVFc8NVJuTtKT6ZJi_tVhDYrIK8slPNX634rocUMoQ5gctcw9anepRSIObhYA0BXGbQK_p99KlRQy8Da6emUv4Pp48E/s1600/Doa+Rabitah_1.png


“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam taat pada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu.
Maka kukuhkanlah ikatannya ya Allah. Kekalkanlah cintanya. Tunjukilah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar. Lapangkanlah hati kami dengan limpahan keimanan kepadaMu dan keindahan bertawakkal kepada-Mu. Nyalakanlah hati kami dengan berma’rifat pada-Mu. Matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu.
Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong ya Allah. Sampaikanlah kesejahteraan, ya Allah, pada junjungan kami, Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabatnya dan limpahkanlah kepada mereka keselamatan.”


Amin.

 P. S. Happy birthday, cintaku Rini Mayasari! Saranghae, uri dongsaeng..
Brattleboro, 21 Februari 2013, 06:01 pagi  - 22 Februari 2013, 00:01 dini hari waktu Hamilton