CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Monday, October 15, 2012

Indonesian Dream



                                                                                                                    Kabut yang likang
dan kabut yang pupuh
Lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan
Matahari menggeliat dan kembali gugur
tak lagi di langit berpusing
di perih lautan

Puisi berjudul “Kartu Pos Bergambar Golden Gate” tersebut pertama kali dikenalkan oleh guru Bahasa Indonesia saya, Bu Muflihah, pada salah satu ulasan tentang musikalisasi puisi. Saya dan teman-teman sekelas ditugaskan untuk memusikalisasi puisi tersebut pada kelas selanjutnya. Keindahan bait-bait dalam puisi Sapardi Djoko Damono ini membuat saya penasaran tentang jembatan bernama Golden Gate tersebut.  Seperti apakah jembatan itu? Seindah yang digambarkan Sapardi kah?
Lima tahun kemudian, 12 Januari 2010, dengan segala kemudahan dari Allah, saya menginjakkan kaki ke kota San Fransisco yang terkenal dengan Golden Gate-nya itu. Setelah hampir setengah tahun berjuang melalui tes demi tes di AMINEF, saya terpilih menjadi salah satu dari sepuluh mahasiswa Indonesia yang nenerima beasiswa Global Undergraduate (Global UGrad) Exchange  Program 2009/2010. Semua tidak terlepas dari dukungan dosen-dosen Prodi Bahasa Inggris, terutama Pak Diem, Pak Sofendi, Bu Ida, dan Bu Sary, yang telah banyak membantu saya dengan surat rekomendasinya. Mama, papa, saudari kembar, dan ayuk-ayuk saya juga telah memberikan yang terbaik yang bisa mereka berikan untuk mendukung saya hingga mencapai titik ini. Masih lekat dalam ingatan saya betapa seringnya papa dan mama menembus dinginnya subuh, mengemudikan mobil dari Sirah Pulau Padang menuju Palembang demi mengantar saya mengejar first flight menuju Jakarta. Rini, saudari kembar saya yang saat itu sedang kuliah di Los Angeles dengan beasiswa yang sama, terus menyemangati saya melalui telpon atau sms. Rini semacam inspirasi yang luar biasa bagi saya karena dia menjadi orang pertama dalam keluarga kami yang mengecap pendidikan di luar negeri setelah bertahun-tahun kami berdua berjuang untuk mendapatkan kesempatan itu.
Seleksi Global UGrad pertama kali diadakan di akhir tahun 2007, saat itu saya dan Rini juga mengikuti seleksi Saga University Program for Academic Exchange (SPACE), sebuah program satu tahun pertukaran akademik  di Universitas Saga, Jepang. Karena kerjasama U to U, semua proses seleksi adalah di tingkat rektorat Unsri. Kami yang saat itu baru semester dua memberanikan diri untuk mendaftar. Di tengah proses seleksi tersebut, Rini mendapat informasi tentang Global UGrad dan mengajak saya untuk mencobanya. Karena beberapa pertimbangan, saya memilih berfokus pada SPACE dan UAS. Rini mendaftar dan setelah melalui serangkaian tes, terpilih sebagai penerima Global UGrad angkatan pertama. Dia bertolak menuju Los Angeles pada 27 Mei 2008.
Dibiayai oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), penerima beasiswa Global UGrad mengikuti perkuliahan di universitas-universitas AS selama satu semester atau satu tahun akademik. Selain, itu program ini juga memberikan kesempatan untuk  magang dan terlibat dalam kegiatan sosial (community service). Proses seleksinya ada empat tahapan, yaitu seleksi dokumen, wawancara dan TOEFL ITP, iBT, dan tes kesehatan. Setiap tahapan juga diberlakukan sistem gugur. Peserta yang tidak lolos dari satu tahapan tidak bisa lanjut ke tahapan lainnya. Pastikan dokumen aplikasi yang dikirim lengkap. Dari beratus aplikasi yang masuk, yang lolos ke wawancara dan TOEFL ITP biasanya kurang dari 20 orang. Begitu pun dengan tes-tes selanjutnya, jumlah pesertanya semakin berkurang. Semua itu proses yang panjang dan menguras energi. Setelah iBT, saya bahkan harus menghabiskan seminggu sisa libur semester di RS Charitas karena kondisi kesehatan saya drop. Tanpa segala kemudahan dari Allah, optimisme, dan dukungan orang-orang terdekat saya tidak akan mampu melalui semua itu.
 Mimpi telah membawa saya melintasi benua. Saya selalu percaya bahwa sebuah pencapaian adalah jenjang menuju pencapaian-pencapaian lainnya dalam hidup ini. Saya bertolak dari Indonesia dengan membawa tiga hal bersama saya; mimpi, cinta, dan kepercayaan. Saya datang dengan membawa mimpi saya untuk melawan segala keterbatasan yang ada, menimbah ilmu setinggi-tingginya, dan menjadi agent of change atas terwujudnya Indonesia yang lebih baik. Mungkin terdengar heroik, tapi begitulah adanya. Cinta, hal kedua yang saya bawa, membuat hati saya terasa hangat. Begitu besarnya cinta yang diberikan oleh setiap orang dalam keluarga besar menguatkan saya. Meskipun terpisah ribuan mil, saya tahu bahwa saya tidak sendiri. Mendapatkan kepercayaan, hal ke tiga yang saya bawa bersama saya, bukanlah perkara mudah bagi kebanyakan anak perempuan seumuran saya. Saya pergi melangkahkan kaki membawa kepercayaan dari setiap orang dalam keluarga besar saya. Papa, mama, Rini, dan ayuk-ayuk percaya bahwa belajar di Amerika Serikat adalah hal yang sangat baik bagi masa depan saya. Mereka semua percaya bahwa saya akan melakukan yang terbaik, belajar dengan baik, memperluas wawasan, dan meningkatkan kemampuan akademis.
Di Humboldt State University (HSU), saya mengambil empat mata kuliah; Literature, Identity, and Representation, Multicultural Perspective of American Society, Fundamental Communication, dan Social Work.  Ke empatnya saya ambil sebagai gambaran untuk bidang yang akan saya pilih untuk S2 saya nanti. Kelas-kelas tersebut mengasah kemampuan critical thinking dengan banyaknya tugas baca dan menulis. Di sisi lain, saya juga harus fokus pada skripsi saya. Karena takut semuanya tidak tertangani dengan baik, saya me-manage waktu saya dengan sangat ketat. Di akhir pekan pun saya tetap sibuk dengan community service. Bersama rekan dari Youth Educational Services (YES), saya memfasilitasi kegiatan permainan edukatif untuk anak-anak tunawisma di salah satu rumah singgah yang tidak jauh dari kampus.
Saya benar-benar menikmati pengalaman belajar di negeri Paman Sam. Secara pribadi, pengalaman tersebut menempa saya menjadi orang yang lebih mudah beradaptasi, mandiri, dan open-minded. Berada dalam atmosfir akademik yang sangat diverse membuat saya terekspos dengan beragam perspektif yang semakin memperluas wawasan. Diskusi dengan rekan-rekan dari negara-negara ASEAN membuat saya lebih aware tentang isu-isu sosial di tingkat regional. Hal ini mendorong saya untuk terlibat aktif dalam forum-forum kepemudaan di tingkat ASEAN atau pun Global South. Interaksi dengan native speaker, baik di dalam atau di luar kelas, meningkatkan kemampuan bahasa Inggris saya. Begitu pula dengan akses terhadap jurnal-jurnal terbaru yang sangat berguna bagi referensi untuk skripsi saya.
Saya sudah memahami betapa besarnya dunia. Dan, sejauh ini baru sedikit yang saya lihat. Selama menjadi mahasiswa, menjaga keseimbangan antara kegiatan akademik dan organisasi, atau pun kehidupan pribadi dan interaksi sosial memang tidak mudah. Tapi semuanya diperlukan untuk hidup setelah kuliah (life after college). Ada banyak hal yang tidak bisa ditemukan di buku teks dan hanya bisa dipelajari dari organisasi dan interaksi sosial. Lulus dengan predikat cum laude bukanlah segalanya. Tapi lulus dengan IPK nasakom juga akan menjadi hambatan dalam banyak hal. Harus membuka mata dan perluas wawasan dengan antusiasme untuk terus belajar dari apa pun, siapa pun, dan di mana pun. “Karena kita hidup dalam sebuah sistem yang memiliki banyak subsistem yang begitu kompleks,” begitu kata salah satu profesor saya.
           Saya tahu bahwa perjalanan saya untuk menjadi pemuda yang benar-benar dapat berkontribusi secara signifikan bagi pembangunan negeri tercinta masih panjang. Tapi saya percaya bahwa setiap langkah kecil yang saya ambil sangat berarti. Seperti kata Lao Tsu, “The journey of a thousand miles begins with a single step.” 


http://dunesandduchess.com/wp-content/uploads/2012/05/golden-gate-bridge-san-francisco-ca.jpg

0 comments:

Post a Comment