CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Thursday, May 13, 2010

Inspirasi: Bagian Kedua

Bukan hal mengejutkan jika saya katakan bahwa apa yang kita lihat, dengar, dan baca akan begitu menginspirasi dan mempengaruhi pola pikir kita. Pernah kah Anda membaca berita tentang balita yang meloncat dari lantai dua rumahnya setelah menoton Tom, dalam serial kartun Tom & Jerry, melakukan hal serupa? Jika tidak, Anda tentu masih ingat berita tentang “permainan smack-down” siswa SD yang berujung tewasnya satu diantaranya? Percaya atau tidak, tindakan berbahaya itu mereka lakukan karena terinspirasi oleh hal sepele, tayangan “Smack-Down” yang ditayangkan di salah satu stasiun TV swasta.

Saya pun pernah, atau mungkin sering, mengalami hal serupa. Salah satu diantaranya berawal dari sebuah novel, berjudul Speak!, yang saya baca di kelas Prose saya. Novel karangan Laurie Hans Anderson ini mengisahkan tentang perjuangan seorang remaja, Melinda Sordino, untuk survi
ve dari memori buruk tentang pelecehan seksual yang dialaminya.

Pelecehan tersebut terjadi pada sebuah pesta, satu minggu sebelum dimulainya freshman year-nya di SMA. Di pesta tersebut Melinda mabuk dan assaulted oleh seorang yang tidak dikenalnya. Dalam keadaan kalut dan panik dia menghubungi 911. Sayangnya, dia tidak mampu menceritakan apa yang terjadi dengannya kepada polisi di telepon. Semua orang di pesta berlari tunggang langgang ketika polisi datang. Polisi membubarkan pesta dan menangkap beberapa orang. Melinda, yang masih dalam keadaan kalut dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, pun ikut berlari tanpa arah. Dia berjalan bermil-mil menuju rumah. Sesampainya di rumah, dia tidak menemukan siapa pun, tidak ayahnya atau pun ibunya. Setelah malam naas itu, Melinda memilih diam karena takut bahwa orang tidak akan percaya pada ceritanya. Oleh karena itu, tidak seorang pun tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Melinda di pesta tersebut.

Celakanya, semua teman Melinda dan orang-orang yang datang ke pesta tersebut bersikap memusuhinya. Mereka marah karena merasa Melinda telah membuat mereka dalam masalah besar. Melinda pun mengawali hari pertamanya di SMA tanpa seorang pun teman. Berhari-hari berikutnya Melinda hidup seperti seorang alien di sekolahnya. Di sisi lain, memori tentang malam naas itu terus menghantui Melinda. Seperti kebanyakan korban pelecehan seksual, dia pun menunjukkan beberapa symptoms seperti sleeping disorder, habit disorder self-blaming, dan kecemasan berlebihan, terlihat dalam kutipan berikut.

I can’t stop biting my lips. It looks like my mouth belongs to someone else, someone I don’t even know (page 17).

Tekanan yang ia rasakan pun semakin bertambah ketika ia tahu bahwa ternyata dia berada dalam satu sekolah yang sama dengan si pemerkosa, Andy Evan. Hidup dalam dunia tanpa teman, orang tua yang tidak harmonis, dan kenangan menjijikkan yang terus menghantuinya, dia hampir-hampir terlihat seperti orang bisu. Dia pun mulai absen dari kelas-kelasnya, dan menutup diri dari semua orang, termasuk orang tuanya. Dia menjadikan sebuah toilet yang sudah digunakan di sekolahnya sebagai “basecamp.” Dia memilih bersembunyi dan tidur di toilet tersebut ketika merasa cemas.

Hingga detik itu, saya belum pernah benar-benar melihat langsung atau berinteraksi pada para korban pelecehan seksual. Dengan gaya penceritaan dari sisi pandang pemeran utama (penulis sebagai “aku”), Anderson, saya akui, berhasil seutuhnya menggambarkan penderitaan psikis yang dialami Melinda pada saya. Alhasil, novel ini benar-benar menguras air mata saya. Saya belajar banyak tentang efek jangka panjang dari sebuah pelecehan seksual.


Sexualized violence adalah seburuk-buruk hal yang ada di dunia ini!

Novel tersebut telah menginspirasi saya untuk mengambil kelas SW 301, Metacourse Act to End Sexualized Violence.









*Laurel Hall #7331, May 12, 2010. 10:00pm Pacific Time.